Antara Merah Putih dan One Piece: Saat Rakyat Menyuarakan Harapan Lewat Simbol
Indra Martha Rusmana
Wakil Ketua ICMI Kota Serang & Dewan Pakar IGI Kota Serang
Agustus adalah bulan sakral bagi bangsa Indonesia. Bulan penuh hormat, semangat kebangsaan, dan refleksi mendalam terhadap perjuangan para pahlawan. Di bulan ini, kita melihat ribuan bendera Merah Putih berkibar di halaman rumah, sekolah, kantor pemerintahan, dan jalan-jalan kampung. Namun, baru-baru ini, muncul satu fenomena menarik sekaligus kontroversial: pengibaran bendera One Piece—ikon bajak laut dari dunia anime—berdampingan dengan Sang Saka Merah Putih.
Sebagian menyambutnya sebagai bentuk ekspresi kreatif, sebagian lain mengecamnya seolah itu bentuk penghinaan. Namun, sebagai warga yang mencintai negeri ini, saya memandang perlu melihat ini secara jernih dan kontekstual.
Simbol sebagai Suara Rakyat
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menegaskan bahwa bendera Merah Putih adalah simbol kedaulatan negara yang wajib dihormati dan tidak boleh disejajarkan atau diposisikan lebih rendah dari bendera lain. Maka dari itu, jika Merah Putih tetap berkibar lebih tinggi, dan bendera One Piece berada di bawahnya, tidak ada pelanggaran hukum di situ.
Namun, yang lebih penting dari aspek legalitas adalah apa yang ingin disuarakan rakyat lewat simbol itu? Kita tidak bisa menutup mata bahwa generasi muda hari ini sedang mencari sosok panutan, nilai perjuangan, dan cerita-cerita inspiratif yang memantik semangat hidup mereka. Dan ironisnya, mereka justru menemukannya dari dunia fiksi seperti One Piece—bukan dari tokoh-tokoh nyata di sekeliling mereka.
Ini Bukan Makar, Ini Kritik Kultural
Mengibarkan bendera One Piece bukan bentuk makar. Ini bentuk kritik yang diam namun dalam. Sebuah pesan bahwa mereka mendambakan keberanian, solidaritas, dan perjuangan gigih ala kru Topi Jerami dalam menghadapi dunia yang keras dan tidak adil—sesuatu yang mereka rasa mulai hilang dari dunia nyata.
Ini adalah tamparan halus bagi kita semua, termasuk pemerintah, pendidik, dan pemuka masyarakat. Kita perlu bertanya, kenapa anak-anak lebih terinspirasi oleh tokoh fiksi ketimbang pahlawan nasional? Kenapa dunia nyata tidak mampu memberi harapan dan petualangan yang layak mereka perjuangkan?
Saatnya Kita Hadir sebagai "Luffy" untuk Negeri Ini
Kita tidak boleh alergi terhadap simbol populer. Justru kita perlu masuk ke dunia anak muda, memahami bahasa mereka, dan membimbing arah aspirasi mereka agar tetap dalam bingkai kebangsaan. Tugas kita adalah menjadi "Luffy" yang nyata—pemimpin yang berani, setia pada prinsip, dan siap menantang ketidakadilan demi masa depan yang lebih baik.
Mengibarkan Merah Putih dan One Piece secara berdampingan, dengan Merah Putih tetap yang tertinggi, adalah pengingat bahwa nasionalisme tidak harus kaku, tapi bisa fleksibel, inklusif, dan penuh makna. Kita bisa bersatu dalam keberagaman, bahkan keberagaman ekspresi.
Akhirnya, mari kita renungkan...
Kalau anak muda hari ini berani mengibarkan dua bendera, bukan karena mereka tidak cinta tanah air. Justru karena mereka ingin bangsanya lebih layak dicintai. Maka mari kita sambut sinyal ini, bukan dengan kemarahan, tapi dengan pembenahan.
Semoga Agustus ini, kita tak hanya merayakan kemerdekaan secara seremonial, tapi juga dengan kebijaksanaan memahami suara rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Nasionalisme bukan soal membenci yang lain, tapi mencintai negeri ini dengan cara yang lebih bijak dan manusiawi.” —Indra Martha Rusmana