Hadiah ke Guru Dianggap Gratifikasi, Hadiah ke Pejabat Disebut Silaturahmi?
![]() |
Indra Martha Rusmana (Pemerhati Pendidikan dan Wakil Ketua ICMI Kota Serang) |
Pada momentum Hari Pendidikan Nasional, perdebatan lama kembali mencuat: mengapa hadiah kepada guru sering dianggap sebagai gratifikasi, sementara kepada pejabat publik justru dibingkai sebagai bagian dari silaturahmi dan penghormatan? Pertanyaan ini menampar nurani banyak pendidik, dan menjadi ironi dalam konteks bangsa yang mengaku menjunjung tinggi martabat guru.
Belum lama ini ramai di ruang publik soal polemik klasik yang kembali muncul: Hadiah untuk guru dianggap gratifikasi, sementara hadiah untuk pejabat publik kerap dibungkus dengan istilah silaturahmi, cenderamata, atau bahkan wujud penghormatan. Sebuah ironi yang menggugah hati nurani, apalagi ketika diucapkan dalam momentum Hari Pendidikan Nasional.
Guru, yang selama ini menjadi jantung moral bangsa, justru sering diposisikan dalam keraguan etik dan hukum hanya karena menerima sekuntum bunga atau selembar kain batik dari murid atau orang tua murid. Padahal dalam psikologi pendidikan, pemberian hadiah dari siswa atau orang tua bisa menjadi bentuk penguatan eksternal yang memotivasi, bukan suap.
Guru bukan pejabat negara yang berkuasa mengatur anggaran, bukan pemegang proyek atau perizinan. Guru adalah pendidik—pembentuk karakter dan peradaban bangsa. Maka saat seorang siswa atau orang tua memberikan hadiah berupa kue, batik, atau sekadar bingkisan ucapan terima kasih, itu adalah bentuk penghargaan atas cinta dan dedikasi. Lalu mengapa dicurigai?
Teori-Teori Pendidikan yang Menguatkan
Dalam teori Behavioristik ala Skinner, pemberian hadiah atau “reinforcement” adalah cara untuk memperkuat perilaku baik. Hadiah dari murid atau orang tua murid bisa menjadi reinforcement yang mendorong guru untuk terus mengajar penuh cinta dan tanggung jawab. Jika seorang guru telah membentuk karakter dan prestasi siswa, maka apresiasi simbolik adalah bentuk reinforcement positif. Mengapa justru ini dicurigai sebagai bentuk transaksional yang melanggar etik?
Sementara menurut teori Humanistik dari Abraham Maslow, manusia membutuhkan penghargaan (esteem) untuk mencapai aktualisasi diri. Guru sebagai insan pembelajar juga butuh dihargai secara simbolik, tidak semata-mata melalui honor atau tunjangan. Apresiasi kecil dari murid bisa jadi bahan bakar semangat yang tak tergantikan.
Dalam etika komunikasi pendidikan, seperti dikemukakan oleh Paulo Freire, hubungan guru dan murid bukan relasi kuasa, tetapi relasi kemanusiaan. Ketika hadiah menjadi ekspresi kasih dan penghormatan, justru itu adalah wujud komunikasi yang memanusiakan.
Kritik: Standar Ganda dan Krisis Keadilan Simbolik
Sayangnya, dalam praktik kebijakan, sering terjadi standar ganda. Guru yang menerima bingkisan dihantui bayang-bayang “gratifikasi”, sedangkan pejabat publik sering menerima cenderamata dan parsel dengan embel-embel silaturahmi atau keniscayaan seremonial.
Pejabat publik—yang digaji oleh negara dan punya kekuasaan terhadap anggaran—seringkali menerima bingkisan dalam berbagai forum resmi tanpa dianggap sebagai gratifikasi. Dalam teori etika publik, “double standard” ini mencederai semangat integritas yang seharusnya adil, objektif, dan transparan untuk semua pihak.
Kritik ini penting disampaikan kepada pemangku kebijakan, khususnya KPK dan Kemendikbudristek. Harus ada perbedaan antara hadiah yang berorientasi pada imbal jasa dengan hadiah simbolik yang berakar dari nilai budaya, relasi sosial, dan penghargaan moral.
Pertanyaannya: Apakah martabat guru tidak setara dengan jabatan struktural? Apakah guru harus selalu diasosiasikan dengan zona kecurigaan ketika menerima hadiah tanda terima kasih?
Solusi: Pedoman Etik dan Budaya Apresiasi
Solusinya bukan melarang membabi buta, melainkan menyusun pedoman etika pemberian hadiah di lingkungan pendidikan yang memperhatikan:
1. Nilai budaya dan kearifan lokal,
2. Konteks non-transaksional,
3. Bentuk hadiah yang wajar dan proporsional,
4. Transparansi dalam pemberian dan penerimaan.
Sikap bijaksana ini akan mencegah kriminalisasi moral terhadap guru, sekaligus tetap menjaga integritas profesi pendidik.
Kita perlu merefleksikan kembali posisi guru sebagai pilar pendidikan dan moral bangsa. Dalam falsafah Ki Hajar Dewantara, guru adalah “digugu dan ditiru”, artinya ia menjadi contoh dan tempat berguru nilai. Maka jika hadiah kepada guru dimaknai sebagai ekspresi kasih sayang dan bukan imbal balik transaksional, perlu ada pemahaman hukum dan etika yang lebih bijaksana dan kontekstual.
Di sinilah pentingnya peran pembuat kebijakan dan lembaga etik untuk menyusun pedoman yang jelas, membedakan antara hadiah apresiatif dan gratifikasi yang merusak integritas. Tanpa itu, kita hanya akan terus mewariskan ketidakadilan persepsi kepada profesi guru yang sebenarnya patut kita muliakan.
Penguatan: Untukmu Para Guru, Tetaplah Mengabdi
Kepada para guru di seluruh penjuru negeri, tulisan ini adalah dukungan moral dan spiritual bagi perjuangan muliamu. Jangan biarkan stigma dan ketidakadilan mengikis semangatmu. Tetaplah menjadi lentera peradaban, pelita yang tak lelah menyinari jalan anak bangsa.
Yakinlah bahwa hadiah terbesar untuk seorang guru bukan kain batik atau bingkisan makanan, melainkan ketika muridnya tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berakhlak, dan berbakti. Namun jika ada tangan-tangan kecil yang menyodorkan hadiah dengan tulus—terimalah sebagai cinta, bukan dosa.
Mendudukkan guru sebagai penjaga akhlak bangsa harus dimulai dari keberanian kita memperjuangkan kehormatan mereka—termasuk saat mereka menerima ucapan terima kasih dalam bentuk hadiah simbolik yang manusiawi. Bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dimaknai sebagai buah dari cinta, bukan kejahatan.
Negeri ini butuh keberanian untuk membela martabat guru. Karena dari tangan dan hatinya, masa depan bangsa sedang ditempa.