Tunjangan Guru Dihapus, Semangat Tak Boleh Pupus
Indra Martha Rusmana*)
“Jika pengabdian guru hanya dihitung dengan uang, maka kita sedang menjual masa depan bangsa dengan harga yang terlalu murah.”
Sejak Januari 2025, kabar mengejutkan datang dari Provinsi Banten: Tunjangan Tambahan (Tuta) bagi guru SMA dan SMK dihapuskan. Pernyataan resmi Plh. Sekda Banten, Deden Apriandhi, membenarkan bahwa kebijakan ini telah diberlakukan karena alasan penyesuaian fiskal daerah.
Sebagai seorang pendidik, saya terenyuh bukan hanya karena hilangnya nominal uang dalam slip gaji, tetapi karena ini menyentuh harga diri profesi guru. Bagaimana mungkin di tengah perjuangan guru dalam menyukseskan transformasi Kurikulum Merdeka, meningkatkan mutu pendidikan, dan merawat semangat anak-anak bangsa, dukungan kesejahteraan justru dikurangi?
Langit dan Bumi: Perbandingan yang Menyayat
Tak dapat dipungkiri, realitas saat ini menunjukkan kesenjangan yang mencolok. ASN Pemda menerima Tunjangan Kinerja (Tukin) yang sangat besar, bahkan bisa mencapai 3 hingga 5 kali lipat dari gaji pokok. Di sisi lain, guru SMA/SMK—yang merupakan ASN Provinsi—harus rela kehilangan Tuta yang selama ini menjadi penguat ekonomi sekaligus penghargaan moril.
Banyak guru kini harus menata ulang kebutuhan hidup, menyesuaikan kembali impian anak-anak mereka. Sejumlah guru honorer yang sedang menempuh PPG, guru ASN yang tengah berinovasi dengan projek penguatan profil pelajar Pancasila, hingga guru-guru yang tetap mengajar di sekolah pelosok Banten—semuanya sedang diuji oleh kebijakan ini.
Apakah Ini Akhir? Tidak. Ini Awal Kesadaran Baru.
Tapi sebagai orang yang pernah menjadi pendidik, saya percaya satu hal: ketika penghargaan berkurang, maka pengabdian kita harus tetap bertambah.
Kita tidak boleh diam. Kita harus bersuara, namun tetap beretika. Kita boleh kecewa, tapi jangan kehilangan daya. Jangan biarkan kebijakan fiskal mencuri idealisme kita. Sebab, bangsa ini dibangun bukan hanya oleh anggaran, tapi oleh cahaya dari dalam kelas—tempat guru menyalakan mimpi murid setiap hari. Saya percaya, ke depan akan ada pemimpin yang peduli dengan guru, cinta dengan pendidikan, dan memiliki visi membangun bangsa dengan pendidikan.
Saatnya Kita Bergerak, Bukan Mengeluh
Kita perlu ruang dialog yang lebih terbuka. Pemerintah daerah harus duduk bersama para guru dan organisasi profesi seperti PGRI dan IGI. Ini bukan semata soal uang, tapi soal keadilan, pengakuan, dan keberpihakan terhadap pendidikan.
Jika ASN lain bisa mendapatkan Tukin besar karena kerja berbasis kinerja, maka guru pun sangat layak diberikan apresiasi berbasis profesionalisme. Apakah ada profesi lain yang membawa pulang bukan hanya lelah, tapi juga nilai hidup untuk masa depan bangsa?
Mengajar Tetap Mulia, Meskipun Dunia Tak Selalu Adil
Mari kita rawat lagi niat awal kita menjadi guru. Niat yang mungkin dibangun di atas semangat “ingin mengubah nasib anak bangsa” dan bukan sekadar ingin gaji tetap. Mari tetap menginspirasi murid dengan penuh cinta, meski slip gaji kita tak lagi sebesar dulu.
Saya percaya, sejarah akan mencatat siapa yang tetap menyalakan pelita ketika angin mencoba memadamkannya.
Tunjangan bisa dihapuskan. Tapi pengabdian tak akan pernah diputuskan.
"Guru yang tangguh, bukan yang hanya menanti bantuan, tapi yang tetap berjuang di ruang kelas meski tanpa tepuk tangan."
*) Indra Martha Rusmana
(Dewan Pakar IGI Kota Serang, Dosen, Motivator, dan Aktivis Pendidikan)