Indonesia Raya Tak Boleh Dinodai
Oleh: Indra Martha Rusmana*)
“Negeri yang besar tak hanya dibangun oleh darah pahlawan, tapi juga dijaga dengan kesadaran penuh akan makna simbol-simbol kebangsaan.”
Saya menahan napas. Di tengah gegap gempita pembukaan Piala Presiden 2025—sebuah ajang prestisius yang ditonton jutaan pasang mata di tanah air—terdengar alunan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang mendayu, mengalir panjang… namun tak sesuai pakem.
Ya, kesalahan fatal terjadi di hadapan publik nasional: Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan dengan aransemen dan gaya yang tak sesuai, oleh penyanyi senior Rita Butarbutar. Sebuah pelanggaran simbolik, tapi punya luka yang dalam bagi mereka yang memahami arti sakral dari lagu kebangsaan.
Lagu Kebangsaan Bukan Sekadar Lagu
Indonesia Raya bukan lagu sembarangan. Ia bukan karya musik yang bisa dibumbui gaya, bukan juga ruang untuk eksplorasi seni panggung. Ia adalah simbol kehormatan negara, identitas nasional, dan pemersatu seluruh anak bangsa.
Negara ini sudah menegaskan hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pasal 60 ayat (1) secara tegas menyatakan:
“Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan dalam bentuk dan gaya yang sesuai dengan martabat Lagu Kebangsaan.”
Lebih jauh lagi, Pasal 64 menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang mengubah Lagu Kebangsaan dengan maksud untuk merendahkan martabat Lagu Kebangsaan.”
Pertanyaannya: di mana martabat itu, saat lagu yang seharusnya membangkitkan semangat justru dilagukan seperti lagu pop penuh vibrasi dan improvisasi?
Kesalahan yang Tidak Bisa Dianggap Sepele
Banyak pihak mungkin akan berkata: “Itu hanya gaya menyanyi.” Atau: “Namanya juga artis, punya ciri khas.” Tapi maaf, ini bukan sekadar soal gaya. Ini adalah bentuk kelalaian budaya, kesalahan etika nasionalisme, dan bisa disebut penghinaan simbol negara.
Rita Butarbutar adalah penyanyi legendaris, itu tak diragukan. Tapi justru karena senioritasnya, seharusnya ia menjadi teladan. Kesalahan ini bukan hanya soal nada, tapi soal pelajaran buruk bagi generasi muda, bahwa lagu kebangsaan bisa "dikreasi" seenaknya.
Saatnya Kita Kembali Menjaga Marwah Indonesia Raya
Kita tidak sedang membenci seni. Kita bukan anti kreativitas. Tapi ada ruang suci yang tidak boleh disentuh oleh improvisasi panggung, dan Indonesia Raya adalah salah satunya. Ia hanya boleh dinyanyikan sesuai bentuk aslinya, dalam tempo yang resmi, tanpa tambahan atau pengurangan.
Kita harus mendidik ulang seluruh penyelenggara acara, artis, hingga publik figur tentang etika menyanyikan lagu kebangsaan. Di Pramuka, kami diajarkan berdiri tegak, hormat penuh, dan menyanyikan Indonesia Raya dengan suara lantang dan hati bergetar.
Apakah hal itu masih hidup di tengah gemerlap industri hiburan kita hari ini?
Jangan Ulangi Luka Ini Lagi
Saya, sebagai Wakil Ketua Kwarcab Gerakan Pramuka Kota Serang, menyesalkan kejadian ini bukan karena kebetulan, tapi karena kelalaian kolektif bangsa yang mulai lupa pada batas antara seni dan simbol negara.
Kita memaafkan, tapi tidak melupakan. Kita memahami, tapi tidak membiarkan. Mari kita pastikan, ke depan tidak ada lagi penyanyi, panitia, atau siapa pun yang berani menyentuh Indonesia Raya tanpa kehormatan.
Indonesia Raya bukan sekadar lagu. Ia adalah darah, semangat, dan harga diri bangsa. Jangan pernah permainkan itu hanya untuk penampilan lima menit di atas panggung.
*) Indra Martha Rusmana
(Wakil Ketua Kwarcab Kota Serang, Pendidik, Penggiat Karakter Kebangsaan, Aktivis Nasionalisme & Kebudayaan.)