Membaca Ulang Pernyataan Ade Armando Soal Wapres Terbaik Sepanjang Sejarah Indonesia
Pernyataan kontroversial kembali dilontarkan oleh politisi dan akademisi Ade Armando dalam sebuah acara sinear. Ia menyebut Gibran Rakabuming Raka sebagai "Wakil Presiden terbaik sepanjang sejarah Indonesia". Sebuah klaim yang mengundang tanda tanya besar sekaligus menuai kritik dari berbagai kalangan. Klaim itu bukan saja hiperbolik, tapi juga berpotensi mengaburkan catatan sejarah bangsa dan mengganggu nalar publik.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki jejak panjang para tokoh luar biasa yang telah mengisi posisi wakil presiden. Nama-nama seperti Dr. Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, hingga Prof. Dr. (H.C.) KH. Ma’ruf Amin, adalah bagian dari deretan Wapres yang tak hanya mewakili pemerintahan, tapi juga memikul amanat sejarah dan pengabdian kepada rakyat.
Dr. Mohammad Hatta, dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, adalah tokoh yang cerdas, bersahaja, dan berani menolak jabatan presiden saat dinilai sudah waktunya mundur. Sri Sultan HB IX, tokoh yang sangat dihormati, menjadi simbol persatuan dan pengayom rakyat.
Adam Malik, mantan diplomat dan wartawan, membawa Indonesia ke pentas diplomasi dunia. Bahkan KH. Ma’ruf Amin, ulama yang dihormati, berperan dalam menjembatani nilai-nilai keislaman dan kebangsaan di masa kontestasi politik yang memanas.
Lantas bagaimana mungkin seorang Gibran Rakabuming Raka, yang bahkan baru beberapa tahun aktif di ranah politik, langsung diklaim sebagai yang terbaik sepanjang sejarah?
Pernyataan Ade Armando tentu bisa dilihat sebagai bentuk dukungan politik. Namun menjadi berbahaya ketika narasi tersebut dipaksakan sebagai kebenaran publik, sementara fakta-fakta sejarah dan realitas obyektif justru menampik itu. Apalagi, naiknya Gibran sebagai cawapres juga diselimuti kontroversi, yakni melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon berusia di bawah 40 tahun maju, hanya karena menjabat kepala daerah, sebuah aturan yang dinilai banyak pihak sebagai manipulatif.
Jika kita kembali ke sejarah Islam, Rasulullah Muhammad SAW diangkat sebagai Nabi saat berusia 40 tahun, usia kematangan akal, jiwa, dan kepemimpinan. Dari sini kita belajar bahwa amanah besar seharusnya datang setelah proses panjang kedewasaan, bukan loncatan instan yang disokong politik dinasti atau kekuasaan struktural.
Ade Armando seharusnya lebih bijak dalam menyampaikan pendapat, apalagi sebagai akademisi yang seharusnya mengedepankan nalar kritis, bukan euforia sesaat. Masyarakat membutuhkan tokoh-tokoh yang jujur dalam melihat fakta, bukan yang menyesatkan publik dengan narasi berlebihan.
Solusinya, Ade Armando perlu belajar lebih dalam tentang sejarah para tokoh bangsa, memahami konteks objektif kenegaraan, dan menggunakan pernyataan publik sebagai alat pencerahan, bukan sekadar provokasi. Biarkan rakyat menilai para pemimpin dari rekam jejak dan dampaknya, bukan dari puja-puji kosong yang tak berdasar.
Bangsa ini sedang membutuhkan pemimpin yang membumi, dewasa, dan matang secara visi dan mental, bukan tokoh karbitan yang naik karena fasilitas kekuasaan.
Semoga publik tetap waras dalam menilai, dan tidak terjebak pada opini sesat yang menyesatkan sejarah.