Prof. Ishom Dilaporkan ke Kemenag, Gerakan KAWAN Desak Menteri Agama Hentikan “Komedi Akademik”
Pelantikan Prof. Mohammad Ishom sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten periode 2025–2029 memantik gelombang kritik tajam dari kalangan akademisi dan aktivis pendidikan. Bukan karena prestasi, tetapi karena pelantikan tersebut dilakukan di tengah dugaan serius plagiasi yang belum pernah dijelaskan secara terbuka kepada publik.
Gerakan KAWAN (GK) resmi melaporkan Prof. Ishom ke Kementerian Agama pada Selasa (7/10/2025). Laporan tersebut diterima langsung oleh staf pengaduan Kemenag di Jakarta. Langkah ini, menurut GK, adalah bentuk keprihatinan mendalam atas runtuhnya nilai integritas di dunia akademik Islam.
Ketua Umum DPP Gerakan KAWAN, Kamaludin, menegaskan bahwa pelantikan di tengah dugaan pelanggaran etik akademik adalah bentuk pelecehan terhadap marwah ilmu pengetahuan. “Kami tidak menuduh tanpa dasar. Tapi jika karya ilmiah seseorang sudah pernah ditarik dari publikasi karena dugaan plagiasi, lalu tetap dilantik menjadi rektor, itu jelas preseden buruk. Kami menuntut Menteri Agama segera bertindak sebelum kepercayaan publik hancur,” ujarnya.
![]() |
Surat Diterima oleh Staff di Kementrian Agama RI |
Dalam surat terbukanya, GK mendesak Menteri Agama Nasaruddin Umar untuk menghentikan apa yang mereka sebut sebagai “komedi akademik” — praktik pembiaran terhadap pelanggaran etik yang justru dilegitimasi lewat seremoni politik. Bagi GK, pendidikan tinggi Islam tidak boleh dibiarkan menjadi panggung kompromi moral dan kepentingan.
“Plagiasi bukan khilaf kecil, tetapi dosa akademik besar,” tulis GK dalam pernyataannya. Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menempatkan integritas akademik sebagai dasar profesionalisme dosen. Ketika prinsip itu diabaikan, kata GK, maka seluruh sistem pendidikan kehilangan nilai etiknya.
Gerakan KAWAN juga menyinggung adanya standar ganda dalam penanganan kasus serupa. Di UIN Walisongo Semarang, misalnya, rektor sebelumnya diberhentikan karena terbukti melakukan plagiasi. “Mengapa di Banten berbeda? Apakah ada perlakuan istimewa? Publik berhak tahu,” ujar Kamaludin menegaskan.
Dalam tuntutannya, GK meminta tiga hal konkret: pertama, pencopotan Prof. Mohammad Ishom dari jabatan rektor UIN SMH Banten; kedua, pencabutan status guru besar yang dinilai cacat etik; dan ketiga, komitmen Kemenag untuk membersihkan dunia akademik Islam dari praktik kompromi politik dan intelektual.
Kamaludin juga menegaskan bahwa langkah hukum akan ditempuh bila Kemenag tidak segera mengambil tindakan tegas. “Kami akan kawal sampai tuntas. Kalau perlu, kami turun ke jalan. Dunia akademik Islam tidak boleh dijadikan bahan olok-olok politik,” tegasnya.
Pelaporan ini menandai fase baru dalam perjuangan publik melawan praktik akademik yang tidak jujur. Menurut GK, kampus Islam harus menjadi benteng moral, bukan tempat pembenaran bagi perilaku yang merusak nilai keilmuan. “Ketika seorang pendidik kehilangan kejujuran, maka seluruh generasi kehilangan teladan,” imbuhnya.
Kini bola panas ada di tangan Menteri Agama. Publik menunggu langkah konkret — apakah Kemenag akan memilih menjaga kehormatan akademik, atau tetap membiarkan komedi ini berlangsung. Satu hal pasti: dunia kampus Islam tengah diuji, dan sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi integritas, dan siapa yang bersembunyi di balik seremonial politik.