Guru Beban Negara? Potret Buram Kemerdekaan ke-80 Tahun Indonesia
Oleh: Indra Martha Rusmana
(Dewan Pakar IGI Kota Serang, Wakil Ketua ICMI Orda Kota Serang)
Indonesia merayakan kemerdekaan ke-80. Namun di tengah euforia bendera merah putih dan sambung rasa, muncul sebuah pernyataan yang mencabik rasa keadaban: “Guru itu beban negara.”
Ucapan itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ketika mempertanyakan apakah gaji guru dan dosen perlu sepenuhnya ditanggung negara ataukah bisa dibantu masyarakat. Hal ini terjadi dalam forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri ITB (7 Agustus 2025).
Kisah Jepang pasca-Hiroshima dan Nagasaki sering menjadi legenda manis yang dijadikan pelajaran sejarah. Dalam kehancuran total itu, yang pertama ditanyakan Kaisar Hirohito bukan jumlah tentara yang masih hidup, melainkan: "Berapa jumlah guru yang tersisa?" Ini menunjukkan betapa pendidikan dan pendidik dianggap nyawa dan harga diri bangsa.
Bandingkan dengan Indonesia, yang 80 tahun merdeka, justru malah mendengar guru disebut beban negara. Inikah buah kemerdekaan sejati? Atau justru kebebasan untuk melukai patriotisme pendidik?
Pertanyaan itu sederhana, tapi menyimpan makna yang luar biasa: masa depan bangsa ditentukan oleh guru. Jepang paham betul, bila gurunya hancur, maka bangsanya pun akan punah. Dan faktanya, dari reruntuhan perang, Jepang bangkit menjadi raksasa ekonomi dunia berkat penghormatan dan investasi pada guru serta pendidikan.
Ironisnya, di negeri kita sendiri yang sudah 80 tahun merdeka, justru terdengar pernyataan yang menohok hati: “Guru adalah beban negara.” Kalimat itu sungguh mencederai martabat para pendidik yang setiap hari berpeluh keringat, mendidik anak-anak bangsa dari pelosok desa hingga kota, dari sekolah terpencil sampai perkotaan, tanpa pamrih selain melihat muridnya berhasil.
Guru Bukan Beban, Melainkan Pondasi Bangsa
Mari kita jujur: tanpa guru, siapa yang melahirkan dokter, insinyur, hakim, tentara, bahkan menteri sekalipun? Tidak ada pejabat yang lahir tiba-tiba tanpa sentuhan guru. Bila ada yang menyebut guru sebagai beban negara, sesungguhnya ia sedang melupakan fakta sejarah dan logika paling dasar.
Guru adalah pondasi bangsa. Bila pondasi ini dianggap beban, maka bangunan kebangsaan akan runtuh. Jangan salahkan murid yang kehilangan arah, jangan salahkan generasi muda yang rapuh karakter, bila negara sendiri tidak menghormati dan menempatkan guru pada posisi terhormat.
Kisah Inspiratif Guru Pahlawan
1. Guru di Pelosok Banten
Di desa terpencil Banten, seorang guru mengajar puluhan anak di rumah reen karya seadanya: dinding bilik bambu, papan tulis reyot, dan papan nama “SD Nargasari 04.” Meskipun fasilitas minim, setiap pagi beliau datang modal semangat dan doa. Ia rela membayar sendiri bahan ajar dan spidol, demi muridnya tidak putus belajar.
2. Guru di Lokasi Banjir Jakarta
Saat banjir besar melanda Jakarta, banyak sekolah tutup. Namun ada guru yang nekat datang, menerobos banjir, membawa tas penuh alat peraga, lalu mendirikan kelas darurat di tenda posko pengungsian. Beliau percaya: pendidikan justru harus hadir di saat krisis, bukan saat damai saja.
Kedua kisah itu bukan sekadar inspiratif, melainkan bukti nyata: guru adalah investasi sosial, bukan beban fiskal.
Inikah Buah Kemerdekaan 80 Tahun?
Kita patut bertanya dengan getir: apakah inikah buah kemerdekaan kita setelah 80 tahun merdeka?
Para pahlawan mengorbankan darah dan nyawa untuk mengusir penjajah. Mereka bermimpi anak cucunya bisa belajar dengan damai, mengenyam pendidikan bermartabat. Tetapi kini, yang terdengar justru guru dipandang sebagai beban, bukan sebagai anugerah dan aset bangsa.
Kemerdekaan tidak berarti bebas memandang profesi pendidik sebagai beban. Justru kemerdekaan sejati adalah ketika kita mampu menyokong mereka yang mencerdaskan anak bangsa—tanpa skeptisisme, tanpa pernyataan menyakitkan.
Jepang membuktikan: mereka bangkit bukan karena senjata, tapi karena menghormati guru. Indonesia akan tumbuh jika kita juga bisa kembali memuliakan guru, bukan menuduh mereka sebagai beban.
Jika pernyataan itu benar adanya, maka kita sedang mengalami kemunduran mental: lupa bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari cara pandang yang menindas guru dan pendidikan.
Refleksi dan Harapan
Sebagai bangsa, kita harus segera berbenah. Pemerintah harus mengoreksi paradigma keliru ini. Guru tidak butuh dipuja-puja, tapi butuh penghargaan, dukungan, dan kepercayaan. Berikan ruang bagi mereka untuk berinovasi, tingkatkan kesejahteraan mereka, dan jangan pernah menempatkan mereka sekadar angka dalam beban anggaran.
Kepada pemerintah—khususnya Kementerian Keuangan—saya tunjukkan:
- Guru bukan beban, mereka adalah investasi masa depan.
- Sudah waktunya paradigma bergeser: anggaran bukan beban, tetapi modal.
- Pendidik membutuhkan kesejahteraan, kepercayaan, dan ruang kreatif, bukan stigma beban.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati gurunya. Jepang sudah membuktikan. Indonesia pun bisa, bila kembali menempatkan guru sebagai pusat peradaban.
Jika kita sungguh merayakan kemerdekaan, mari jadikan tahun ke-80 Indonesia Merdeka sebagai momentum untuk memperbaiki narasi, memperkuat prioritas, dan memposisikan guru sebagai tonggak peradaban—bukan beban yang layak dilupakan. Karena pada akhirnya, jika guru dianggap beban, maka bangsa ini sedang memikul beban kebodohan yang jauh lebih berat.