Ombudsman Temukan Pangakalan LPG Subsidi Jual Diatas HET
JAKARTA, Kabarindo79.Com - Hasil pengamatan Ombudsman di 12 provinsi, menemukan berbagai persoalan berkaitan dengan tata niaga LPG bersubsidi 3 kg. Selain masalah Harga Eceran Tertinggi (HET), ketersediaan pasokan di masyarakat juga menjadi persoalan.
Hal ini diketahui Ombudsman setelah pihaknya melakukan evaluasi lapangan yang dilaksanakan melalui kegiatan permintaan keterangan kepada tiga unsur responden, yaitu pangkalan, pengecer/calon sub-pangkalan, dan konsumen (rumah tangga serta UMKM).
Dikutip dari ombudsman,go.id, yang tayang pada Selasa, 19/8/2025, Hasilnya, sebanyak 72,67% pengecer mengaku tidak mengetahui adanya rencana kebijakan pemerintah terkait peningkatan pengecer menjadi sub-pangkalan resmi.
Meskipun demikian, mayoritas (61,33%) menyatakan bersedia menjadi sub-pangkalan, walaupun masih terbentur keterbatasan modal, legalitas usaha, serta pemahaman tata kelola distribusi LPG Bersubsidi 3 kg.
"Uji petik menunjukkan bahwa pengecer belum siap sepenuhnya, baik dari sisi legalitas usaha, modal, maupun pemahaman regulasi. Kondisi ini rawan menimbulkan penyimpangan dan ketidaksesuaian harga dengan HET," jelas Yeka.
Dari aspek harga, Ombudsman menemukan seluruh pengecer di wilayah uji petik menjual LPG 3 Kg di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dengan kisaran Rp 30 ribu hingga Rp 70 ribu per tabung.
Sementara di tingkat pangkalan, 11,27% masih menjual di atas HET karena alasan tambahan biaya transportasi maupun keterbatasan pasokan.
Masalah serupa juga terlihat pada aspek pasokan. Sebanyak 36,62% pangkalan dan 36,67% pengecer mengaku pernah mengalami kelangkaan LPG 3 Kg. Dari sisi konsumen, setengah responden (50,85%) menyatakan kesulitan memperoleh LPG terutama pada awal tahun dan menjelang hari besar keagamaan.
Selain itu, Ombudsman RI juga menyoroti adanya praktik maladministrasi, seperti dominasi oknum Ketua RT dan pihak kelurahan dalam bisnis pangkalan yang mempersulit penerbitan surat keterangan usaha.
Ombudsman RI menilai lemahnya pengawasan turut memperparah persoalan. Sebanyak 96% pengecer menyatakan tidak pernah diawasi oleh pemerintah maupun Pertamina, berbeda dengan pangkalan yang lebih rutin mendapat pengawasan.
"Apabila tantangan ini tidak segera diperbaiki, kebijakan pengecer menjadi sub-pangkalan berpotensi menimbulkan maladministrasi, terutama dalam hal kepastian distribusi, harga, dan pasokan," tegas Yeka. (*red).